MEANING OF LIFE, JOURNEY, TRAVELLING AND HAPPINESS

Kamis, 17 Agustus 2017

Menerima, Memberi Lalu Bahagia? :)

foto : google

Tulisan ini dibuat dalam bentuk sharing atas pengalaman yang aku rasakan beberapa hari yang lalu. Saat itu sedang mesasa kondisi psikis sedang tidak stabil. Pernah kah kamu merasa ingin marah, kesel dan kecewa luar biasa? Emosi meluap-meluap. Baper nan sedih luar biasa. Peliknya pekerjaan yang terus aku bawa perasaannya sampai di kosan. Dan hanya karena masalah sepele saja bisa membuatku sampai memangis. Sangat dan sangat berlebihan.  Yang menjadi tempat aku menumpahkan segala rasa sudah pasti orang-orang terdekatku. Rasa egois pun muncul, merasa orang-orang tersebut memiliki kewajiban untuk menemaniku saat itu tanpa memperdulikan situasi dan kondisinya. Sungguh egois, bukan? Padahal kan aku tidak perlu menuntut dunia mengikuti apa mau aku? (ini salah satu feedback dari orang lain yang selalu aku ingat).

Sampai pada akhirnya, ketika mereka tidak 'memiliki waktu' untukku, rasa kecewa muncul. Padahal waktu yang mereka punya ya milik mereka, itu hak mereka untuk membagi waktu yang berharga kepada oarng lain atau tidak. Saat itu, aku merasa sangat sedih. Merasa sendiri. Teman berbagi pun tidak ada. Merasa paling banyak masalah dalam hidupnya. Otak mulai mikir yang aneh-aneh. Pokonya mah FULL OF DRAMA. Aku sangat sadar, saat itu aku ada dalam masa pra-menstruasi ku. Dimana memang emosi naik turun, meledak-ledak dan sangat lebay senstifnya. Hey kalian para wanita, apa kalian merasakan hal yang sama ketika sedang PMS?

Saat itu aku sedang asik-asiknya membaca buku "bahagia dalam jeda" dimana buku itu menjelaskan bahwa dengan cara 'menerima' segala rasa yang hadir bisa mendamaikan hati. Rasa amarah, rasa kecewa, rasa sedih. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyadari, menerima dan berdamai dengan segala rasa saat itu. Sulit dan sungguh sangat sulit saat dipraktekkan. Perlu 2 hari untukku memahami segala rasa. Aku mulai merasa lelah. Pagi itu adalah pagi yang paling berharga. Sebelum berangkat kantor aku berkaca. Melihat wajah, mencoba untuk menguatkan diri. Ternyata, sok kuat didepan orang orang itu lelah ya? Aku mendapat feedback, bahwa aku adalah orang yang sok kuat depan orang-orang tetapi sangat rapuh di orang orang terdekat. Cukup menampar karena mengetahui kenyataannya itu benar.

Pagi itu aku coba ambil keputusan, memiliki tekad kuat untuk berhenti bersedih. Aku tidak ingin lagi, waktu ku terbuang sia-sia karena kesedihann yang bermula karena persoalan kecil. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu yang aku punya untuk bersedih. Maka saat aku keluar kamar, aku memandang langit biru yang cerah cukup lama, aku memperhatikan awan-awan kecil yang sedang bergerak, aku menghirup udara secara dalam dan menyadarinya. Lalu aku bilang "hai alam semesta, aku akan malu jika terus terusan bersedih sepanjang waktu. Padahal kau selalu menampakkan keindahan tanpa bosan setiap harinya". Entah kenapa aku merasa lebih lega. Hati yang asalnya terhimpit banyak kekecewaan dan kesedihan lambat laun menjadi lapang. Aku lupa, bahwa sudah sangat lama aku tidak berbicara dengan alam sekitar. Aku terlalu sibuk dengan rutinitas kerjaku. Aku terlalu sibuk ingin terlihat merasa lebih baik bahkan mengharapkan orang orang terkesan pada hidupku. Aku terlalu sibuk mengejar, merasa paling paham tentang ilmu kehidupan melalui buku-buku yang sudah ku baca. Padahal teori hanya teori jika tidak ada praktek nyata didalamnya. Aku ternyata lemah, ada batas minimumnya. Aku mencoba untuk menyadari dan menerimanya.

Saat itu aku mengambil keputusan untuk berhenti bersedih. Aku mulai tersenyum dan berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini aku akan menyebarkan segala hal yang positif. Tidak lagi cemberut atau berpikir berlebihan. Aku merasa diingatkan untuk selalu peka akan alam semesta. Selalu respect dan menyadari keberadaannya. Hal sederhana ini sangat membuat mood aku lebih baik. Sungguh. Aku bayak berbicara pada diri sendiri. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyadari sekitar (langit, awan, pohon, udara, orang lain, burung dll).

Saat perjalanan menuju kantor, aku mulai melangkahkan kaki dengan banyak harapan dan doa yang baik-baik pagi itu. Aku sudah memiliki niatan, untuk tersenyum kepada siapapun orang pertama yang aku temui saat membuka pintu gerbang. Dan saat itu ada seorang kakek pemulung. Membawa karung besar di pundaknya, dengan penampilan yang jauh dari kata bersih. Aku tersenyum padanya lalu dia tersenyum dan menyapaku balik. Ini kali pertama (rasanya) kita berjumpa. Lalu aku (bukan maksud sombong/pamer) memberikan sedikit rejeki yang aku punya untuk beliau. Dengan harapan, aku percaya dengan memberi akan membuat aku bahagia. Dan itu merupakan aksi nyata aku untuk berhenti bersedih dan lebih peka terhadap sekitar. Lalu beliau pun mengucapkan terimakasih dengan mimik wajah yang sangat melegakan hati ini. Mimik wajah yang bahkan masih aku ingat saat tulisan ini dibuat. Aku berjalan lebih dulu dari si Kakek dengan langkah cepat karena memang sudah hampir terlambat datang ke kantor.

Anehnya, di setiap langkah aku sungguh merasa lega. Merasa bahagia. Merasa bebas. Dan menyesali kenapa 2 hari kemaren aku menghabiskan waktuku dengan bersedih dan bahkan berharap kebahagiaan pada orang lain. Aku lupa akan 3 hal penting dalam hidup ini. Satu, menerima bahwa saat itu aku sedang marah, sedang sedih dan sedang merasa sangat kecewa. Menerima juga perlu usaha yang kuat. Karena saat menerima, ada perasaan tidak boleh terlihat lemah atau sedih depan orang-orang. Memakai topeng terus terusan dan itu cukup membuat lelah.

Kedua, kebahagiaan terletak pada diri sendiri. Bukan dari orang lain, bahkan orang yang disayang sekalipun. Kebahagian adalah keputusan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Siapapun dia. Karena tidak ada satu orang pun di dunia ini yang akan bertanggung jawab atas ketidakbahagiaan diri selain diri sendiri. Tidak perlu lagi mengharapkan apalagi memaksakan orang lain memiliki kewajiban untuk ada disaat aku sedang butuh. Tidak perlu lagi meminta bahkan mengemis kebahagiaan dari orang lain. Tidak perlu lagi menuntut dunia mengikuti apa yang di mau agar aku merasa bahagia. Dan tidakperlu lagi menjadikan orang lain sebagai penentu kebahagiaan diri sendiri.

Kedua, memberi bisa membuat bahagia. Melebihi rasa saat kamu menerima sesuatu dari orang. Saat memberi, ada perasaan yang berbeda dan membuatku ingin terus melakukannya lagi dan lagi. Saat memberi, tidak ada harapan untuk diberi balik dan hanya melihat mimik wajah ucapan terimakasih dari orang lain secara tulus bisa sangat mempengaruhi mood aku. Tidak bisa digantikan oleh apapun.

Hari itu, hanya karena keputusan keputusan kecil yang aku ambil di pagi hari, semua berjalan sangat baik. Bahkan sangat baik. Lalu aku berpikir, apakah ini reaksi dari alam semesta? Aku percaya, semua sudah Allah garsikan. Selama 3 hari aku berbicara pada diri sendiri, mencoba mencari solusi terbaik bagi diri sendiri, mengajak 'dia' berdiskusi dan self talk banyak hal lainnya. Menerima, memberi lalu bahagia. Itu yang aku pelajari.

Aku sangat belajar dari perasaan ku saat itu. Memang benar, Allah memberikan 'message' kepada umatnya melalui banyak cara. Ada yang lewat kesuksessan atau bahkan kecewa sekalipun. Mari belajar menerima, banyak memberi lalu berbahagia dengan sendiri :)




Semoga menginspirasi!


Jakarta, 17 Agustus 2017 jam 8.46 WIB
(ditulis si hari pertama menstruasi dengan rasa sakit sumbilangeun)



0 komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan sarannya ya agan agan!

Total Tayangan Halaman

NungaNungseu. Diberdayakan oleh Blogger.