MEANING OF LIFE, JOURNEY, TRAVELLING AND HAPPINESS

Minggu, 19 Desember 2021

Become a New Mom!

Selamat satu bulan jadi Iboookkk!!

Ya namanya ibu baru ya kadang ada rasa sensitif berlebih, rasa insecure bisa ga ya urus bayi? Sampai disebut lebay takut bayi kenapa-napa. Belum lagi perasaan lelah dan cape sendiri sampai rasanya omongan dari sekitar seperti tekanan/kritik pedas bahkan tak jarang cukup menyakitkan wkwk padahal orang tuh ngomong gak ada niat buat nyakitin loh, apalagi dari mereka circle terdekat aku.

Ini dia perasaan campur aduk saat tepat 3 minggu jadi Ibook, ditulis di notes handphone sambil berlinang air mata hehe :p

----------------

Setauku, gak ada ibu yang gak ikhlas melakukan apapun perihal mengurus anak. Bahkan saat anak belum lahir pun, dalam fase mengandung (hamil) Ibu sudah rela badannya jadi berubah, menahan sakit entah mual/heartburn di sepanjang malam, membawa beban diperut yang semakin hari semakin berat. Belum lagi persiapan fisik mental menuju lahiran. Makan makanan bergizi untuk si buah hati saat hamil/menyusui. Menahan diri  untuk tidak konsumsi sesuatu yang disuka selama hamil karna mungkin bisa saja membahayakan janin. Mengikis ego selama 9 bulan mengandung bukan perihal mudah, kawan!

Setelah melahirkan, perut jadi berubah. Strechmarks yang menempel sebagai kenangan selama hamil sulit dihapus. Berat badan yang masih jauh dari berat badan semula sebelum hamil. Pertama kali makan/tidur merasa gak tenang siapa tau bayi membutuhkan si ibu. Ah si Ibu baru ini ternyata banyak hal yang harus dipelajari setiap harinya, bukan hanya ilmu parenting/new born, akan tetapi persiapan mental juga sama pentingnya. 

Si Ibu baru merasa telah berkorban banyak, sehingga mendengar sebuah kalimat simple nan sederhanan cukup membuat hati si Ibu sakit. Kalimat tersebut berbunyi "makannya yang ikhlas kalo lagi urus bayi" 

Mendengarnya hati seperti disambar petir, mau marah dan jelasin panjang lebar jelas dia gak akan ngerti karna belum pernah bahkan tidak akan pernah menjadi seorang Ibu. Rasanya kecewa mendengar kalimat itu karna datang dari salah satu support system terdekat. 

Ya.. tulisan diatas bukan semata curhatan belaka, mungkin peran baru yang berlaku seumur hidup ini, masih belum memiliki persiapan yang matang, terutama mental dan kerjasama antara suami istri, ortu, dan support dari keluarga terdekat. 

Dan ada satu lagi, si ibu baru jadi lebih sensitif dari biasanya. Mungkin si bapak baru juga. Saking ingin melindungi bayi yang merupakan anak pertama, ya dikit dikit baper jadi hal yang lumrah. Belum lagi perdebatan mengurus bayi versi ortu zaman dulu vs sekarang. Melawan mitos mitos yang bukan berdasarkan ilmu pengetahuan. Cukup melelahkan -,-

Oh iya satu lagi, si ibu baru merasa jadi objek yang pertama kali disalahkan ketika bayi kenapa napa. Padahal dia juga manusia, gak bisa 24jam mengawasi bayi dengan pengalaman yang belum ada sama sekali. Cara gendong bayi yang masih dikomen, pelekatan saat menyusui yang masih selalu disalahkan dan kegiatan lainnya yang berhubungan erat dengan bayi. Padahal hari pertama saat bayi lahir, sang Ibu baru juga lahir, mereka sedang sama-sama belajar. Si ibu baru juga masih harus mengerjakan perihal rumah tangga yang lain semperti membersihkan rumah, mencuci baju, pumping ASI, makan makanan bergizi untuk bayi, cuci dan steril pumpingm dot, botol dll. Itu baru urusan rumah, belum tetek bengek bayi dari mulai pesen online/belanja jika minyak telon/pampers udah abis, gantiin popok, mandiin, lipetin  baju bayi  dan segudang aktifitas yang dilakukan setiap hari dengan terus menerus. 

Perlu diketahui, untuk sekedar tidur siang pun mesti curi curi waktu. Diutamakan makan dulu kemudian pumping ASI dan ketika sudah siap mau bobo cantik eh bayi bangun minta nen. 

Kalo pas malem jangan ditanya, si ibu baru ini yang pertama kali bangun ketika bayi bersuara, menyapih di dini hari dengan mata yang berat. Bangun tidur, tangan dan pinggang pegel adalah hal biasa. 

Bukan maksud hitung-hitungan-an atas pengorbanan seorang Ibu seperti apa, atau merasa paling berkorban. Setiap keputusan yang diambil pasti ada resiko nya yang kadang bikin senang atau sebaliknya. Pun sama ketika memutuskan punya anak, sudah jelas apa resiko yang akan dihadapi nanti, jadi siap untuk kurangi mengeluh dan banyak bersyukur. Si Bapak baru juga mungkin merasakan hal yang sama, tapi jelas fokus dan kapasitasnya berbeda.

Tulisan ini bukan untuk membela atau membenarkan (hal yang keliru misal sampai menyakiti bayi) semua tentang si Ibu baru yang mungkin sedang mengalami baby blues atau Post Parfum Depression.

Tulisan ini dibuat hanya ingin memberikan sedikit perspektif bahwa si Ibu baru juga masih tahap belajar. Tolong jangan di judge, disalahkan bahkan dibilang tidak ikhlas dalam hal mengurus anak sendiri. Saking sayangnya suami/ortu/mertua/keluarga sayang dengan bayi, bukan berarti si ibu baru ini patut disalahkan, dikomentari, atau dijudge. Rasa sayang Ibu kepada anaknya tak bisa digantikan, bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekali pun, si ibu baru ini siap kapan saja mati demi anaknya. 

--------------

Dear New Mom, kalian hebat sudah sampai di tahap ini. Kadang kita perlu tebal kuping terhadap saran/masukan yang tiada henti mampir di kuping kita. Tebal hati terhadap judge/kritik yang diberikan kepada kita. Betul, semua karena sayang yang berlebih dari orang-orang sekitar terhadap anak kita, tapi sayangnya mereka lupa rasa "empati" terhadap si Ibu baru. 

Iya, si ibu baru yang tiap hari bingung harus gimana, dikejar waktu belajar banyak hal setiap harinya. Buku yang dibaca, seluruh intisari yang ditulis dalam buku catatan serasa sia-sia. Tapi satu hal yang berhasil menengkan hati dan membuatnya untuk terus belajar setiap hari yaitu senyum manis si bayi mungil. Meski sering terjadi saat kita sedang menyusui, perut dalam keadaan kosong, dasteran, keringetan campur ASI yang rembes. Dia bagai malaikat kecil yang hanya bisa bergantung denganmu, dengan ASI yang keluar dari tubuhmu. Percayalah ketika seribu orang diluar sana menghakimi, mengkritikmu, menyalahkanmu tapi akan selalu ada satu orang yang tetap tersenyum dan membutuhkanmu, yaitu anakmu sendiri. Hal tersebut membuat si Ibu baru siap diterpa apapun asal demi kehidupan si bayi.

Semoga yang membaca ini bisa lebih empati sama si ibu baru. Turut mendukung, memihak dan menenangkan. Bukan disalahkan, dikomentari ini itu. Kasih ibu sepanjang masa untuk anaknya, percaya!


Bogor, 19 Desember 2021

Selamat 1 bulan anakku, Kirana Kala Senja :)



Read More

Selasa, 16 November 2021

Dear Kala.....


Dear Kala, 

Terimakasih sudah hadir di perut Ibu selama 9 bulan. Terimakasih sudah memilih kami sebagai orang tua. Kita tau bahwa sejatinya kita tak bisa meminta ingin dilahirkan dari orang tua yg mana. Ibu dan Ayah janji akan terus belajar menjadi orangtua yang baik untuk kamu Ka! Bukan yang terbaik ya, karna kami tidak tau yang terbaik itu seperti apa. 

Banyak doa dari kami yang dipanjatkan setiap harinya. Namun yang terutama adalah semoga Kala selalu sehat, mendapatkan banyak cinta dari sekitar dan yang paling penting selalu dalam lindungan Allah SWT. 

Ibu dan Ayah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi ego masing masing, lebih kuat dalam bekerja sama, banyak belajar ilmu parenting, semuanya demi pertumbuhan dan perkembangan Kala! 

Untuk mendapatkan kamu, Ibu dan Ayah memang harus diuji dulu oleh Allah SWT, namun proses tersebut menjadikan kami lebih siap menunggu kehadiran kamu. Seperti namamu "KALA" yang artinya waktu. Kamu adalah anugerah yang Allah SWT beri di waktu terbaik menurut-Nya. Semoga namamu selalu menyadarkan di sepanjang hidup Ibu dan Ayah, bahwa Allah SWT akan memberikan apapun itu di waktu terbaiknya.

Ibu dan Ayah tak meminta Kala untuk menjadi siapa dan apa. Jadilah diri sendiri! Lakukan apa yang ingin Kala lalukan asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Temukan kebahagiaan dan kesuksesan versi-mu! Berikan banyak manfaat untuk sekitar dan bersenang-senang lah dalam hidup. 

Sejatinya tugas Ibu dan Ayah hanya sebatas mendidik dan merawat-mu, sisanya ini adalah hidupmu sendiri. Dan yang paling kami sadari, Kala bukan milik kami seutuhnya, tapi milik Allah SWT. Jadi, Kala harus takut sama Allah SWT ya! 

Sesuai namanya Kirana Kala Senja, Kirana artinya indah. Semoga memiliki bukan hanya paras yang indah, tapi hati, sikap, dan tutur kata yang tidak kalah indah. Kala artinya waktu. Semoga Kala mengerti bahwa apapun akan Allah SWT beri diwaktu terbaik menurut-Nya. Dan, senja itu cantik kesukaan Ibu dan Ayah :) 

Selamat datang di indahnya dunia.

Sekian. 
Ibu dan Ayah sang orangtua baru. 

Selasa, 16 November 2021
(3 hari sebelum operasi SC) 
Read More

Senin, 09 Agustus 2021

Self Love adalah Proses Tanpa Akhir



sumber gambar : Fenesia.com


Proses mencintai diri sendiri adalah proses tanpa akhir. Proses yang terus menerus dilewati-dihadapi-dilakukan-disadari selama hidup, bahkan sampai tua. Hidup berdampingin dengan manusia -ya manusia adalah makhluk sosial- di dunia serba kompleks ini memang nggak mudah. Ada banyak manusia yang memiliki keresahan dan masalah -ya tiap orang pasti punya masalahnya masing masing kan ya- sehingga menjadi 'tidak sensi' terhadap situasi orang lain. Media sosial yang 'serba mudah' ini menjadi pemicunya. Jelas, semua orang merasa BERHAK mengeluarkan pendapat, judging, memberikan komentar -yang banyaknya sih tidak solutif-. Bahkan, sampai ada looohh yang lagi kena 'musibah' ditanyain banyak hal yang personal nan sensitif karna rasa ingin tahunya yang tinggi, tanpa sadar pertanyaan demi pertanyaannya itu mengiris hati bagi yang sedang kena musibah. Mungkin informasi yang didapat akan jadi 'bahan' obrolan dengan teman-teman lainnya saat update kehidupan si A lagi gini loh, si B udah itu loh atau si C -yang sebenernya aku juga nggak mau tau-. Tapi kok jadi nggak etis ya rasanya? Atau ada lagi, musibah dijadikan konten demi cuan dan cuan hihi :p 

Ngomong-ngomong soal media sosial, alhamdulillah aku sudah quit dan keluar dari addict bermain medsos. Aku sudah unfollow siapa-pun orang yang aku kenal, dan follow akun/orang yang memberikan dampak positif untuk mental aku. Rasanya overknowing membuatku jadi pribadi yang terus berlari tanpa istirahat, membandingkan diri dengan orang lain, menjadikanku orang yang jauh dari kata cukup dan jarang untuk bersyukur.

Lalu aku pun private akun instagram ku, dan sangat sangat membatasi untuk sharing perihal update hidup ku sendiri. Mengurangi oversharing asik juga, aku lebih merasa intimate sama diri sendiri saat sedang berbahagia atau berduka sekali pun. Menyelami diri lebih dalam, mengenal diri lebih serius akan respon terhadap ini atau itu. Cukup menyenangkan :-)

Beberapa teman mungkin kaget dengan pilihan aku seperti ini. Ada juga teman yang bilang katanya aku lebay, tidak jadi orang positif dalam melihat media sosial/kebahagiaan orang lain. Sejenak aku tertegun dengan omongan mereka dan berhari-hari evaluasi diri sambil bertanya "emang salah ya kita nggak jadi orang positif ketika sedang down? aku kok kayaknya jadi orang yang negatif ya sekarang? apa aku ini toxic?" dan segala pertanyaan yang intinya terus menyalahi dan tidak mengapresiasi diri sendiri.

Lalu akhirnya aku ambil keputusan untuk BODO AMAT orang mau bilang apa. Segala proses yang Allah SWT kasih dalam bentuk ujian -yang sebenernya Allah pengen kita deket terus dengan-Nya- ya aku sendiri yang merasakannya. Kenapa orang lain berhak judging, komen, atau bahkan mengatur segala keputusan yang aku ambil? Toh disaat kita sedang berada dibawah atau musibah, menjadi orang positif bukan kewajiban. Emang pas lagi berduka nggak boleh gitu untuk nangis atau sekedar ambil jeda dari hiruk-pikuk lingkungan sosial? Kenapa kita dituntut -atau bahkan dipaksa- untuk terus jadi orang positif kapanpun dengan situasi apapun? It's okay to be not okay, karna semua ada masanya. Kecuali aku motivator golden ways ya yang bisa bersikap positif setiap saat :p

Ignore rasa kecewa/sedih yang sedang dirasakan sampai akting terlihat 'bahagia' didepan orang lain, ya cukup melelahkan. Itu artinya kamu membohongi diri sendiri untuk terlihat hebat depan orang lain -lagi lagi validasi dari orang lain-. Beda halnya dengan orang yang memilih 'tidak pamer' saat sedang terkena musibah untuk 'sejenak ambil jeda' tanpa intrupsi dari orang lain.

I better lose friend, dibandingkan lose my self. Segala perjuangan, pengorbanan yang sudah aku lakukan untuk 'bangkit' akan terus aku apresiasi. Aku bangga sama diri sendiri sudah berjalan dan bertahan sejauh ini. Aku berterimakasih sama diri sendiri untuk selalu jujur apa yang sedang dirasakan. Ketika sedih ya sedih, ketika marah ya marah, ketika mau nangis ya nangis. Kelak, siapapun yang berbicara 'sok tau' tentang hidupku, jelas aku tidak akan peduli (lagi). Aku tidak perlu validasi dari siapapun, aku berjalan maju secara perlahan untuk kehidupan ku kelak. Aku tau kapan harus istirahat dan mengencangkan sabuk untuk berlari kencang. Fokus membahagiakan dan selalu memprioritaskan diri sendiri. Ya, daripada terus bersama 'orang lain' tapi malah bikin diri ini makin ciut, makin negatif, makin less bersyukur, makin blame my self, makin ngerasa kurang segalanya. I wanna choose be friend with my self daripada berteman dengan orang yang negatif vibes.

Eh ngomong-ngomong tentang teman, akhir akhir ini aku sedang merasa circle pertemanan kok makin kecil ya? Kok kayaknya susah ya nemu temen yang satu pemikiran? Terus aku baca salah satu artikel di tirto yang bahas "Makin Tua Teman Makin Sedikit? Kamu Tak Sendirian".

Di umur yang bertambah, 

orang akan cenderung lebih oportunis dalam memilih teman


Baca lebih lengkap disini ya https://tirto.id/dmZD :)

Selain itu aku juga menemukan artikel di kumparan yang bahas tentang "Circle Pertemanan Semakin Kecil Tanda Kamu Berada di Fase Kedewasaan" kamu bisa baca lebih lengkap disini :)

Aku merasa 2 artikel itu relate banget sama aku apalagi yang katanya wanita -berdasarkan penelitian- akan mencari teman seperti mencari pasangan hidup, cari yang tingkat kebermanfaat-annya lebih tinggi. Makin sedikit lingkaran pertemanan bukan berarti jadi tidak memiliki teman sama sekali. Malah makin sedikit teman, ya makin lebih intens dan ber-meaning dalam setiap obrolan. Deep talk, listen, no judging ya itulah definisi pertemanan sesungguhnya.

Proses mencintai diri sendiri rasanya tak akan lekang oleh waktu. Rasanya membagi waktu dengan diri sendiri atau orang terdekat -baca suami- jadi sesuatu momen yang dinikmati dibandingkan mesti upload instagram story atau whatsapp status. Lebih memiliki more quality dan tentunya makin sayang sama diri sendiri. Kalo udah sayang, ya ngerasa dikasih kekuatan aja untuk menjalani hari atau nggak peduli sama omongan para toxic people. Terus gak perlu juga untuk mengemis kebahagiaan dari orang lain. Tidak perlu juga pencapaian besar untuk merasa bahagia, kebahagiaan-kebahagiaan kecil setiap hari seperti dengerin lagu BTS dan Blackpink sudah cukup buatku semangat di pagi hari. Atau sarapan sehat dengan segelas susu aku jadikan bentuk self love terhadap badan sendiri. Rasanya, proses mencintai diri sendiri akan terus aku rawat sampai tua. Berteman dengan diri sendiri juga akan terus aku jaga. Bukankah saat nanti kita sakharatul maut, hanya aku dan diri sendiri yang menghadapinya, bukan?

Semoga bermanfaat!


Bogor, 9 Agustus 2021

Read More

Rabu, 04 Agustus 2021

Makin Tua, Teman Makin Sedikit. Sedang Merasakan?


Satu tahun terakhir, puncaknya pasca operasi Kehamilan Ektopik aku mulai merasa tidak memiliki 'teman'. Ditambah pandemi yang belum selesai juga sehingga mempersulit ruang untuk bertemu dengan orang-orang sekedar menghilangkan penat. Tapi rasanya bukan karena itu saja, umur ku yang makin bertambah menuju angka 30 tahun, membuat aku bersikap "opurtunis" dalam memilih teman. Jelas aku menginginkan teman yang memberikan banyak manfaat, bukan hanya sekedar nongkrong ngopi, ngobrol ngaur-ngidul sana sini. Pernah di suatu obrolan teman-teman lewat zoom, lalu aku melemparkan topik tentang bahasan "agak serius" lalu salah satu temanku respon "duh serius amat sih ngobrolnya.." ya habis itu yaudah deh aku diem aja dan let it flow basa-basi nanya kabar satu sama lain.

Sempet merasa insecure kok sekarang-sekarang aku kayak gak punya temen ya? Padahal saat berusia 25 tahun aku memiliki banyak teman dengan beragam usia, background, dan mereka mudah untuk dihubungi atau sekedar diajak ketemuan mendadak. Aku mulai tuh kontak temen-temen lama, dan atur schedule untuk video call. Hasilnya? Ada yang bisa dan engga, dan banyak juga yang jadi 'orang berbeda' dari yang aku kenal sebelumnya. Atau ada juga yang sibuk sambil urus anak, kan kan aku jadi gak enak ya ngajak ngobrol lama nya. Kesimpulan : Semakin dewasa tiap orang memiliki prioritas hidupnya masing-masing, dan jika kamu sudah tidak termasuk dalam bagian dari prioritas hidup mereka ya legowo jangan baper :D

Sebagian besar teman-temanku sudah menikah dan beberapa sudah memiliki anak, dimana dari sisi waktu dan prioritas jelas berubah. Namun aja juga teman yang selalu ada ketika dihubungi namun sudah tidak satu frekuensi lagi. Entah inginnya ngobrol haha-hihi atau kepo dengan kehidupan pribadi aku "udah isi belum?" yang rutin dilontarkan beberapa bulan sekali. Itu pertanyaan yang cukup sensitif secara personal, next aku tulis dengan judul terpisah ya :) 

Ada juga teman yang kalo diajak ngobrol lebih ke judging hidup aku dan reject ketika aku ajak obrolan dengan topik yang lebih serius. Atau yang lebih parah ngobrol sama orang yang selama obrolan itu aku merasa lebih rendah dari dia. Ada lagi yang kalo tiap ketemu aku jadi overknowing tentang kehidupan temen-temen lama katanya si A udah nikah, si B lagi hamil, si C udah punya anak dan lainnya, padahal ya sengaja aku kurangin overknowing kehidupan orang lain eh dalam 5 menit jadi tau semuanya, padahal sebisa mungkin aku sudah gak main medsos huhu.

Dipikir-pikir niat ingin menghilangkan penat eh malah jadi kena mental duluan. Akhirnya aku 'menarik diri' dari mereka. Seperti selalu ada alasan untuk menolak jika diajak ketemu. Habis gimana ya aku gak mau ngorbanin perasaan sendiri hanya untuk berteman dengan orang-orang tersebut. Aku pun sedang tahap memulihkan mental pasca operasi tahun lalu.

Sempat merasa apa aku salah ya menarik diri dari pertemanan yang sudah ada? Apa aku sendiri yang toxic gak bisa terima perubahan prioritas/pola pikir mereka yang dulu kayanya-asik-banget-kalo diajak ngobrol atau sekedar hang out. Tapi balik lagi, ketenangan mental hanya diri aku sendiri yang tau nyamannya bagaimana dan sama siapa. Sampai saat ini aku masih memiliki beberapa teman yang 'masih nyambung' kalo diajak ngobrol, no judging, no kepo. no camparing dan itu aku bersyukur banget berharap bisa bertahan lama. Aaamiin.

Akhirnya aku stop blaming my self dan stop anggap diriku toxic. Aku punya hak untuk berteman dengan siapa pun yang bisa buat aku jadi orang yang positif, more self love, always grateful dan tanpa tekanan atau merasa sirik dengan cerita kehidupan mereka. Apa itu termasuk egois nan opurtunis? Lalu ketemu lah aku salah satu artikel di tirto yang bahas "Makin Tua Teman Makin Sedikit? Kamu Tak Sendirian". Isi artikel nya relate banget sama aku dan ada quote begini :

Di umur yang bertambah, 

orang akan cenderung lebih oportunis dalam memilih teman


Baca lebih lengkap disini ya https://tirto.id/dmZD :)

Selain itu aku juga menemukan artikel di kumparan yang bahas tentang "Circle Pertemanan Semakin Kecil Tanda Kamu Berada di Fase Kedewasaan" kamu bisa baca lebih lengkap disini 

Ya seneng ya kalo aku merasa lingkar perteman makin sedikit berarti aku sudah berada di fase dewasa, haseeekkk :D

Well dibalik itu semua aku juga bersyukur jadi memiliki waktu lebih banyak dengan diri sendiri. Makin kenal diri sendiri, mencoba kontrol emosi/panik atau cemas berlebih akan satu hal. Jadi kaya solve perasaan sendiri, gak perlu minta bantuan teman untuk jadi pengalihan apa yang sedang aku pikirkan secara tidak wajar. Suami pun bilang katanya sekarang aku udah gak terlalu banyak ngeluh kaya dulu. Aku sekarang merasa mudah untuk mencari kebahagiaan sendiri misal dengan baca buku, meditasi, dengerin lagu kpop atau sekedar nonton mukbang di youtube. Oh iya mungkin quit dari social media juga salah satu kenapa aku merasa teman menghilang satu-persatu, tapi anehnya hati ini terasa lebih nyaman dan tenang :)

Itu aja paling keresahan aku, aku sama suami selalu ngobrol as a friend bahwa meski sudah menikah aku dan dia memiliki kehidupan sebagai diri sendiri sebelum menikah. Misal aku seorang Nunga yang punya teman sebelum kenal dengan dia, pun dia sebaliknya. Menikah bukan berarti hidup aku-untuk-kamu, tapi perihal menambah peran sebagai istri-suami dan kelak ayah-ibu (aamiin). Iya gak sih? Tapi disaat mulai mencari/kontak teman kok mereka jadi ga se-asik dulu sih? hehe ada yang merasa gitu juga sih? Sharing dong!!



Bogor,

Rabu, 4 Agustus 2021

(Sebelumnya ini tersimpan rapih di draf blog, selama 1 tahun lebih)

Read More

Total Tayangan Halaman

NungaNungseu. Diberdayakan oleh Blogger.