MEANING OF LIFE, JOURNEY, TRAVELLING AND HAPPINESS

Senin, 09 Juli 2018

Belajar di Jalanan Jakarta (Part 1)


joe le taxi II by Xax, via Flickr
foto : pinterest

Jadi, awalnya gini. Saat itu aku baru saja pulang dari kantor, didalam perjalanan menuju kosan kadang otak aku melayang kesana kemari sambil mengamati apa yang sedang terjadi. Jalanan di Jakarta cukup ramai, maklum jam pulang kerja. Lampu merah seolah tidak ada fungsinya, karena meski sudah lampu hijau toh kendaraan tidak bergerak sama sekali saking macetnya didepan. Semerawut! 

Biasanya setiap mau ambil kiri ada tulisan "belok kiri langsung" (meskipun ga semua ya). Nah bagi pengendara yang terjebak macet lalu memang akan belok kiri, rasanya seperti ada sedikit angin surga karena tidak perlu masuk dalam 'kepelikan' kemacetan didepannya, toh emang tujuannya ada di sebelah kiri. Alih alih sedikit angin surga, tapi tidak lama setelah belok kiri (sekitar 10 meter) kendaraan kembali diam. Suara klakson berbunyi bergantian. Saat lihat kedepan, jalanan kosong. Jadi apakah yang buat macet? 

Ternyata jalanan yang tidak begitu besar ini (hanya bisa dilewati 2 mobil secara bersamaan) macet gara gara ada beberapa mobil yang sedang antri akan belok ke kanan. Lalu yang sebelah kirinya? Tepat di sebelahnya (percis di sebelahnya) ada angkot yang sedang ngetem menunggu penumpang. Yang aku lihat baik di sebrang atau dimana (di sekitar angkot) tidak ada calon penumpang yang mau nyebrang untuk naik angkot atau sedang jalan menghampiri angkot. Lalu sedang apa angkot itu berdiam diri di jalanan? Pastinya bukan hanya menunggu penumpang yang sudah ada, tapi menunggu penumpang yang entah ada atau tidak. Antara jalan dan trotoar ada batas agak tinggi, sehingga angkot tersebut ngetem menggunakan bahu jalan, iya bahu jalan yang dipakai pengendara.

Rasa heran pun menghampiriku. Apakah sang supir tidak mendengar suara klakson yang terus bergantian berbunyi? Apakah sang supir tidak sadar bahwa klakson tersebut berbunyi ditujukan padanya? Apakah sang supir tidak merasa bahwa akibat 'keegoisan' nya menggunakan bahu jalan untuk menunggu penumpang (yang tidak pasti) itu merugikan banyak orang. Iya, merugikan banyak pengendara di belakangnya. Yang masing masing punya alasan untuk segera tiba dirumah, berkumpul bersama keluarga. Atau sekedar memenuhi janji datang tepat waktu bertemu teman atau kolega. Yang lebih parahnya lagi, jika ada ambulance yang memang membawa seseorang menuju UGD untuk mendapatkan pengobatan. Seseorang yang sedang berjuang diantara hidup dan matinya didalam ambulance di kemacetan Jakarta. 

Timbul pertanyaan didalam diri. Apakah kebanyakan orang di Ibukota ini mati rasa terhadap keadaan sekitar? Mati rasa ikut peduli terhadap keadaan/prioritas orang lain? Apakah semua sibuk dengan pencapaian masing masing sampai lupa atau bahkan tidak peduli, usaha yang sedang dilakukan itu merugikan orang lain? Apa yang dibanggakan bila berhasil naik keatas tapi selama proses itu menyakiti, mendzalimi, melukai hati bahkan merugikan orang lain?

Aku tau, mungkin sang supir angkot tersebut lebih bersusah payah untuk mencari nafkah di Ibukota. Lebih banyak pengorbanannya dibanding aku si anak kantoran. Lebih banyak tanggungan hidupnya. Lebih banyak capenya dengan hasil yang entah cukup atau tidak. 

Bukan hanya tentang cerita supir angkot ini. Tapi bagaimana kita atau orang orang memandang hidup. Bisakah semua itu terjadi dalam keadaan peka rasa. Peka rasa pada sekitar. Peka rasa pada perasaan orang lain. Peka rasa apa yang sedang dilakukan sedikit banyak berpengaruh pada hidup orang lain. Peka rasa bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian diri, yang suatu hari bisa hancur berkeping keping seketika atas kuasa-Nya. Memang ingin hidup untuk bermanfaat adalah impian jutaan orang. Tapi jangan sampai lupa, setidaknya hari ini kita hidup tidak merugikan orang lain.



Selamat menyelami!

Jakarta, 09 Juli 2018

0 komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan sarannya ya agan agan!

Total Tayangan Halaman

NungaNungseu. Diberdayakan oleh Blogger.