MEANING OF LIFE, JOURNEY, TRAVELLING AND HAPPINESS

Rabu, 03 Juni 2020

27 Tahun dan Teman-Temannya

image : pinterest


Semakin bertambah usia, semakin tidak terlalu peduli dengan ucapan, perayaan atau bahkan media sosial. Semakin bertambah usia, rasanya sulit untuk bisa berbahagia dengan cara yang sederhana. Semakin bertambah usia, semakin bingung tujuan entah kapan datangnya dan berbagai hal yang dirasa makin pelik. Atau diri ini saja yang membuatnya terlihat rumit?

Kadang, aku rindu ketika usia ku 20 sampai 23 tahun, saat itu belum bekerja. Bisa dengan mudah menjadi diri sendiri dan bahagia dengan cara yang sederhana. Selalu penuh semangat dan positif dalam bertindak. Saat itu, aku sangat berani untuk memiliki cita-cita tinggi. Kalaupun tidak tercapai, minimal aku sudah berusaha. Bertemu dengan yang namanya kegagalan sudah jadi hal biasa. Terlebih saat itu aku bisa melakukan apa yang aku mau, memulai usaha gelang sendiri, ke Kampung Inggris sendiri, waktu terasa sangat cukup. Uang yang dipunya meski sedikit terasa cukup dan berhasil membuatku bahagia.

Setelah mengetahui dunia kerja. Tekanan di kantor, teman-teman kantor yang tidak satu frekuensi, lingkungan toxic, pekerjaan yang harus selesai sempurna, weekend menjadi admin media sosial orang lain, rutinitas berangkat kerja lewat jalanan macet setiap hari, pulang dengan transportasi umum Jakarta, ditemani puluhan orang yang berjuang demi cuan untuk penuhi gaya hidup atau kebahagiaan orang orang yang di cinta.

Menuju 4 tahun tinggal di Ibukota untuk mencari nafkah, membuat tujuan hidup aku lambat laun berubah. Mengikuti arus pergerakan cepat Ibukota. Jalan, antri, menyebrang, bawa kendaraan, suara klakson, udara panas, banjir dan teman temannya buat aku merasa muak. Berkali kali bilang ke suami untuk pindah ke daerah dan menjauh dari Jakarta. Tinggal di desa, sederhana dan apa adanya rasanya cukup menggoda.

Tapi kebutuhan finansial juga ngga boleh dihilangkan begitu aja. Ada mimpi ingin punya rumah sendiri. Tabungan yang cukup untuk masa depan. Tapi rasanya lelah sekali menjalani rutinitas itu itu saja. Jadi serba salah.

Umur 27 tahun, umur pertama kali berperan sebagai istri. Ada tantangan baru, prioritas baru, masalah baru dan pastinya tekanan baru.

Ada beberapa prinsip yang selama ini dipakai ternyata tidak sesuai dan aku salah mengartikan selama ini. Misal, seperti menjadi lebih baik : do my best untuk menyentuh sempurna yang sebenernya tidak akan pernah ada. Juga rasa ingin tahu yang tinggi karena banyak hal di dunia ini yang baru aku ketahui kemarin kemarin. Sayangnya tidak ada kontrol disana sehingga aku terus memaksakan diri dan merespon setiap kondisi dengan terus berusaha dan berjuang sampai tidak tau lagi titik batasnya dimana. Bahkan bisa juga mengabaikan rasa lelah, tak istirahat dan sibuk dengan pencapaian didalam otak sendiri. Ada yang paling sedih ialah tanpa merasa bahagia dalam menjalani prosesnya.

Umur 27 tahun ini jadi titik dewasa (mungkin) untuk melihat bahkan menilai sesuatu. Rasanya perlu waktu 5-7 tahun untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dari yang dulu. Ah, rasanya aneh.



Note : Tulisan ini mungkin dibuat saat 17 Februari lalu, tetap hari kelahiranku. Mungkin saat itu kurang percaya diri akhirnya hanya ada di draft. Hari ini aku berani untuk share, karena keresahan dan rasa khawatir bukan lagi suatu aib untuk dibagikan. Semoga tetap kuat ya buat kalian yang merasa juga.


Jakarta, 3 Juni 2020
Read More

Zona Waktu Kesuksesan & Kapasitasnya

Image : iphincow.com


Ternyata makin dewasa, makin bertambahnya usia menjalani hidup rasanya makin susah. Makin banyak orang yang dikenal, lingkungan yang makin luas, gaya hidup yang sedikit bergeser, makin sulit mempertahan visi hidup. Ya, selalu tergoda dengan rumput tetangga. Belum lagi efek media sosial, tetangga jauh saja harumnya sudah bisa kita hirup dari sini...

Sebuah kesimpulan bahwa "yang kita lihat dari luar belum tentu kita tau dalemnya seperti apa" memang selalu ditanamkan sebelum membuka aplikasi instagram, facebook atau bahkan WA status. Tapi sesaat setelah tenggelam dalam update-an nya, rasa insecure, gagal, ngga berguna, hidup ngga adil, selalu sengsara terus bergelantungan dalam pikiran yang kadang susah juga di stop nya. Padahal status yang terpasang tidak lebih dari 10 detik, ya itu hanya sekedar status, kan? Tapi pikiran ini beranjak seolah-olah menjadi masalah besar, membahas keadilan kepada Yang Maha Kuasa. Padahal definisi adil itu jelas subjektif dan masing-masing punya pandangan yang berbeda. Dan pastinya yang di atas jelas lebih tau kadar kebutuhan manusia nya. Dia melihat dari atas, kita yang ada dibawah hanya bisa lihat kedepan, tanpa tau masa depan seperti apa. Lucu ya?

Belum lagi less self love and appreciate with our self. Merasa segala yang sudah dan sedang diperjuangkan tidak berguna, disalip orang lain yang kita kira less effort dibandingkan diri sendiri. Tenyata status orang lain yang hanya sekedar status bisa berefek cukup panjang ya?

Berbicara tentang kesukssesan aku punya filosopi bahwa "bunga akan berkembang pada waktunya" kalo diibaratkan dengan lebih mudah dan hasil obrolan dengan suami akhirnya aku tarik kesimpulan bahwa kesuksesan memiliki zona waktunya masing-masing. Seperti waktu, mungkin disini sedang siang dan di belahan dunia lain sedang malam. Karena bumi ini berputar sama seperti roda kehidupan yang juga terus berputar. Mungkin saja dia sedang sukses sekarang, siapa tau besok bagian kita, kan? Zona waktu akan terus berputar sesuai arahnya, meski kita berusaha sangat keras luar biasa untuk merubah arahnya hal itu tak akan terjadi. Mustahil bisa berubah. Kalo kata Gitasav, untuk sesuatu yang sudah Tuhan gariskan nanti kenapa kita harus membuang waktu, usaha, emosi untuk sekarang? Jelas akan didapatnya nanti. Gitu katanya.

Bukan hanya tentang zona waktu kesuksessan, ternyata semakin aku menganalisa orang-orang dengan definisi sukses yang beragam, kesuksesan juga memiliki aturannya sendiri. Ada kapasitas nya, akan dijatuhkan di titik mana lebih tepatnya. Apakah mungkin di semua titik? Kalo kita pernah bertemu orang yang sempurna dari sisi materi, memiliki anak yang sehat nan lucu, pekerjaan/usaha yang stabil, agamis dan baik hati akan tetapi kita tidak tau didalem hati orang tersebut bagaimana, apakah bahagia, apakah selalu khawatir hartanya akan berkurang, apa lebih worry karena punya anak-anak yang lucu dan hal lainnya yang tak terlihat oleh mata.

Pun sama kapasitas kesuksesan setiap orang berbeda-beda. Ada yang lancar urusan keluarga, harmonis, memiliki anak, keluarga hangat namun sulit di materi alias pas-pasan. Ada yang sukses di karir, menjadi wanita mandiri, baik hati, agamis namun sulit bertemu jodohnya. Ada yang hebat secara materi, pintar, inspiratif tapi belum juga mendapat momongan. Ya, meskipun zona waktu akan menghampiri suatu saat nanti kepada kita akan tetapi kapasitas yang Tuhan beri pun  mugkin saja berbeda-beda.

Apa yang sudah diberi oleh-Nya selama ini mungkin terasa kurang, tapi bagi-Nya ini sudah lebih dari cukup untuk kita syukuri. Pernah kah merasa seperti itu?

Ah sudahlah! Lewat tulisan ini aku sedang mencoba memotivasi diri sendiri. Jika memang yang kita inginkan (sesuai definisi sukses sendiri) tidak sesuai kapasitas sukses menurut-Nya semoga kita tidak pernah lelah untuk bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki. 3 Magic word : ikhlas, sabar, syukur.

Suatu tulisan mendadak ketika akan memulai kerja di rumah pagi ini. Semoga bermanfaat.



Jakarta,
3 Juni 2020






Read More

Total Tayangan Halaman

NungaNungseu. Diberdayakan oleh Blogger.